Saat hidup menyuguhkan beragam rumusan dan persepsi, saat semua orang sibuk beradu argumen, saling melempar retorika, merasa paling benar, menutup mata dengan kacamata kefanatikan, menyumbat telinga dengan kapas keegoisan, menolak setiap kritikan dan menangkisnya dengan sejuta alasan, maka aku lebih memilih untuk menghindar. Menghindar menuju kesendirian. Kesendirian yang akan mengajakku lebih banyak berpikir, lebih lama merenung. Menyelam ke dalam lubuk pikiran orang-orang, menerka apa yang orang lain rasakan, menilai cara mereka berpikir, mengetahui bahwa tiap orang punya cara pandang yang berbeda tentang apapun, hingga kemudian aku tenggelam dalam labirin penafsiran. Sendirian.
Terserah kau mau menyebutku pengecut atau pecundang yang bersembunyi di balik keapatisan. Terserah kau mau menyebutku egois atau semau gue. Setidaknya dari sana, ruang yang kusebut kontemplasi itu, aku mengerti betapa Alloh Sang Penulis Skenario benar-benar punya cara berbeda dalam mendidik anak cucu Adam.
Aku sangat ingat ketika ada yang mengingatkan, entah maksudnya mengingatkan atau memotivasi atau apa maksudnya aku pun juga tidak tahu. Yang jelas banyak yang menghasilkan tafsiran yang berbeda-beda ketika dia berucap. Aku memang paling sensitiv kalau sudah bicara tentang 'perbandingan'. Karena menurutku perbandingan itu baru boleh dibandingkan jika memiliki dua sisi yang sama, keadaan yang sama, kondisi yang sama, posisi yang sama. Sementara hidup ini dinamis, terus ada perkembangan, kadang di atas-kadang di bawah seperti roda berputar.
Jika diibaratkan seorang mukmin seperti seekor lebah, seperti dalam hadist "Perumpamaan seorang mukmin itu seperti lebah, ia makan yang baik, dan jika mengeluarkan sesuatu dari dirinya, ia mengeluarkan sesuatu yang baik, dan jika hinggap di kayu yang kering rapuh, ia tidak mematahkan kayu itu.” (Hadist Hasan diriwayatkan oleh Al Baihaqi),maka sebagai da’i yang tugasnya menyeru, mungkin kita belum memiliki daya sengat seperti yang dimiliki lebah. Ucapan kita tidak didengar, ajakan kita tidak direspon.
Apresiasi itu sebenarnya tidaklah sangat penting, tapi ketika kau mengagumi seseorang maka bertasbihlah atas-Nya, bukan memuji di hadapannya. Dan ketika segala hal yang ada pada dirinya bermanfaat, maka jadikan ia sebagai inspirasi- bukan motivasi. Pun sebaliknya, ketika segala yang diusahakannya tidak ada nilainya di matamu, maka do'akanlah ia, cobalah untuk berpikir positif. Karena boleh jadi, pengorbanannya selama ini mungkin lebih berharga di mata Alloh, bukan di hadapanmu, yang hanya nampak secara lahir. Karena dibandingkan "Luka itu... belum sembuh benar..." ya, mungkin kalimat ini yang cukup masih membekas di benakku. Jauh sebelum kesadaran hati ini muncul, aku memang tidak terima dengan semua ini. Rasanya apa yang aku lakukan selama ini, hanya dianggap angin yang berlalu. Serasa hanya mengalami tamparan demi tamparan, ketidakpuasan akan hasil kinerja, pengadilan yang tanpa adil menghakimi, segala senjata yang menusuk dari belakang bahkan dari orang-orang terdekat yang selama ini selalu terlihat manis di depanku-ternyata dari belakang menusukku, merasakan pengkhianatan-pengkhianatan akan janji-janji yang mereka ucap. Semua itu serasa menghantamku keras seakan tubuh ini tertimpa beton yang sangat berat. Tapi... waktu menjawab seiring dengan kontemplasi ini. Mungkin pengorbanan ini belumlah seberapa ketika dibandingkan dengan masa-masa pendahulu. Keikhlasan dan kesabaran atas semua ini menjadi kunci utama. Biarlah mereka berkata apa, memang aku begini adanya.
Dan akhirnya, keberhasilan dakwah bukanlah semata-mata karena keprofesionalan kita dalam mengolah tutur kata, mengembangkan materi dan kekreatifan kita dalam mengajak. Keberhasilan dakwah kita dalam membentuk kepribadian orang lebih karena kekuatan RUHIYAH kita. Kekuatan yang muncul karena kuatnya tafarrugh (mengosongkan diri) untuk beribadah kepada Alloh saja, lillah... fillah... billah...
Aku sedang menanti pintu di hadapanku terbuka. Pintu yang menutupku dalam zona aman. Rasanya sudah terlalu lama aku tinggal di dalamnya. Rasa penasaran kembali menggelitikku untuk bertanya, ada apa di balik pintu itu? Akankah kujumpai badai yang siap menerjang? Apa ada terik matahari yang siap membakar? Petir menyambar? Gumpalan awan hitam? Deras hujan? Angin kencang? Pohon tumbang? Atau, sebuah taman bunga dengan kicau burung bernyanyi riang? Atau bisa juga, pagar tinggi yang akan kembali mengekang? Wallohu a’lam...
Do'akan saudarimu ini tetap bisa istiqomah ^_^
2 comments:
nice ...
terimakasih ^_^
Post a Comment